Review : Darah Garuda

Film yang merupakan sekuel dari Merah Putih ini, menceritakan tentang kisah keempat kadet, Tomas (Doni Alamsyah), Amir (Lukman Sardi), Dayan (T. Rifnu Wikana) dan Marius (Darius Sinathrya). Mereka menyerbu kamp tawanan milik Belanda demi menyelamatkan para perempuan yang mereka cintai, Senja (Rahayu Saraswati), Melati (Astri Nurdin), Lastri (Atiqah Hasiholan). Lalu para kadet ini bertemu dengan pasukan Jendral Sudirman. Dan mereka diberi tugas rahasia, yaitu untuk melumpuhkan sebuah lapangan udara vital milik Belanda.

Ada hal yang unik saat saya baru saja masuk ke studio bioskop, entah kenapa setiap orang terlihat bingung mencari tempat duduknya padahal sudah jelas tertera pada tiketnya. Bahkan ada orang yg sampai salah masuk studio. Saya sempat bertanya pada diri saya sendiri, "Apakah mereka baru pertama kali ke bioskop?". Sudalah, langsung saja saya mulai membahas film ini.

Pada scene awal (saat di perkebunan kopi), dialog antara Senja, Melati dan Lastri terasa kaku dan datar seolah-olah mereka baru pertama kali berakting dalam sebuah film. Kedatangan Tomas untuk menyelamatkan mereka juga tidak terlalu berkesan. Namun saat adegan baku tembak dimulai, cerita pun mulai terangkat. Dibandingkan dengan Merah Putih, dari segi cerita Darah Garuda lebih beragam. Tidak hanya terpusat pada keempat kadet tersebut, kehadiran tokoh-tokoh lain, seperti Sersan Yanto (Ario Bayu) memberikan intrik tersendiri. Adegan baku tembak serta ledakan lebih ditonjolkan daripada di film sebelumnya namun permainan pisau (atau mungkin belati) yang menjadi ciri khas dan alasan saya menyukai tokoh Dayan sangat minim.

Dari semua pemain yang terlibat hanya ketiga pemain, yaitu Doni Alamsyah, T. Rifnu Wikana dan Ario Bayu menampilkan akting yang lumayan dan selebihnya biasa saja. Ada seseorang yang berpendapat bahwa akting Rudy Wowor sebagai Mayor Van Gaartner seperti akting Christoph Waltz sebagai Hans Landa dalam Inglourious Basterds, menurut saya itu berlebihan.

Ada beberapa momen yang membuat saya gregetan terutama saat scene terakhir di lapangan udara. Baku tembak dan ledakan-ledakan sangat diekspose di sini. Namun terdapat hal yang kurang masuk akal saat Amir berdiri bebas (tidak berlindung) terlibat baku tembak dengan pasukan Belanda secara frontal. Tapi kenapa tak satu pun dari tembakan mereka (pasukan Belanda) yang berhasil mengenai Amir? Aneh.

Ketegangan mencapai puncaknya saat Dayan dengan susah payah berusaha mengejar pesawat untuk menyelamatkan diri bersama ketiga kadet yang lain. Dan secara spontan seisi studio bioskop berteriak gemas menyaksikan adegan dramatis tersebut, kecuali saya (cukup dalam hati saja).
Kesimpulannya, Darah Garuda unggul segala-segalanya daripada Merah Putih, kecuali dua hal di atas (scene awal dan saat Amir terlibat baku tembak) yang terkesan seperti dilebih-lebihkan.

5 comments:

Moan said...

Hahahaha..
betul tuh
apa memang mau dibuat jadi trilogi nga ya?
tapi kalo overrated gini trus khan sayang

Thyo Aditya said...

@moan: iya memang sudah trlanjur dibuat trilogi,malah yg ketiganya hampir atau mugkin sudah selesai digarap..
menurut gw ckup wajar klo film ini overrated mengingat film ini merupakan film (trilogi) termahal indonesia yg ngilabatin orang2 hollywood..hehe :D

e2p said...

emang film ini dibuat style-nya hollywood banget... mengendepankan adegan laga dan tembak-tembakan,, dan sayang tidak sepenuhnya bukan karya sineas kita...

Bang Mupi said...

film ini tidak lebih baik dari yang pertama. Mending nonton Sang Pencerah lagi deh :D

Thyo Aditya said...

@e2p: iya sayang bgt..hehe
@bang mupi: yah,gw blm smpet nntn sang pencerah :(